ALIRAN
FILSAFAT KONSTRUKTIVISME DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan
memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan hidup manusia. Pendidikan
berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik demi
mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang
diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah
yang menjadi tujuan pendidikan, siapakah pendidik dan terdidik, apa isi
pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial,
yakni jawaban-jawaban filosofis.
Dalam
proses pendidikan, aliran konstruktivisme menghendaki agar anak didik dapat
menggunakan kemampuannya secara konstruktif untuk menyesuaiakan diri
dengan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Anak didik harus aktif
mengembangkan pengetahuan, bukan hanya menunggu arahan dan petunjuk dari guru
atau sesama siswa. Kreativitas dan keaktifan siswa membantu untuk berdiri
sendiri dalam kehidupan, aliran ini mengutamakan peran siswa dalam
berinisiatif.
Sedangkan
penerapan dalam proses belajar mengajar aliran konstruktivisme memberikan
keleluasaan pada siswa untuk aktif membangun kebermaknaan sesuai dengan
pemahaman yang telah mereka miliki, memerlukan serangkaian kesadaran akan makna
bahwa pengetahuan tidak bersifat obyektif atau stabil, tetapi bersifat temporer
atau selalu berkembang tergantung pada persepsi subyektif individu dan individu
yang berpengetahuan menginterpretasikan serta mengkonstruksi suatu realisasi
berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan berguna
jika mampu memecahkan persoalan yang ada.
Berdasarkan
uraian diatas, melalui makalah ini penulis merumuskan masalah mengenai apa yang
dimaksud dengan konstruktivisme dan bagaimana pembelajaran menurut konstruktivisme.
Hal tersebut sangat perlu dibahas karena bertujuan agar kita mengetahui apa yang
dimaksud dengan konstruktivisme dan bagaimana pembelajaran menurut
konstruktivisme. Dengan pemahaman yang cukup
mengenai hal tersebut diatas, maka setiap individu akan mendapatkan hasil
pembelajaran yang optimal.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang
perkembangan aliran filsafat konstruktivime dalam pendidikan?
2. Bagaimana hakikat pendidikan, tujuan
umum pendidikan, hakikat guru, hakikat siswa, dan hakikat pembelajaran menurut
aliran filsafat konstruktivisme?
3. Bagaimana implikasi aliran filsafat
konstruktivisme dalam praksis pendidikan?
4. Bagaimana analisis kritis mengenai
aliran filsafat konstruktivisme dalam pendidikan?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memahami latar belakang
perkembangan aliran filsafat konstruktivisme dalam pendidikan.
2. Untuk memahami hakikat pendidikan,
tujuan umum pendidikan, hakikat guru, hakikat siswa, dan hakikat pembelajaran
menurut aliran filsafat konstruktivisme.
3. Mengetahui implikasi aliran filsafat
konstruktivisme dalam praksis pendidikan.
4. Menguraikan analisis kritis mengenai
aliran filsafat konstruktivisme dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Aliran Filsafat
Konstruktivisme
1. Pengertian filsafat pendidikan
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan
pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat
tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan,
tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu,
memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari
proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika.
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam
pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena
masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang
dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta
lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan,
dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
2. Pengertian filsafat konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv
dan isme. Konstruktiv berarti bersifat membina, memperbaiki, dan
membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia berarti paham atau
aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld
dalam Pannen dkk, 2001:3). Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran
mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya
sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa
ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin dalam Yusuf, 2003). Tran Vui
juga mengatakan bahwa teori konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan
kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan
kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan
fasilitasi orang lain. Sedangkan menurut Martin. Et. Al (dalam Gerson Ratumanan, 2002) mengemukakan bahwa
konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksikan
pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan
belajar baru. Selanjutnya, Wikipedia (2008:1) menurunkan definisi ialah: “constructivism
may be considered an epistemology ( a philosophical framework or theory of
learning ) which argues humans construct meaning from current knowledge
structures” artinya, konstruktivisme dapat dipandang sebagai suatu
epistimologi (kerangka filosofis atau teori belajar) yang mengkaji manusia
dalam membangun makna dari struktur pengetahuan terkini.
Konstruktivisme merupakan paradigma alternatif yang muncul
sebagai dampak dari revolusi ilmiah yang teradi dalam beberapa dasawarsa
terakhir (Kuhn dalam Pannen dkk. 2000:1). Pendekatan konstruktivisme menjadi
landasan terhadap berbagai seruan dan kecenderungan yang muncul dalam dunia
pembelajaran, seperti perlunya siswa berpartisipasi aktif dalam proses
pembelajaran, perlunya siswa mengembangkan kemampuan belajar mandiri, perlunya
siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri, serta
perlunya pengajar berperan menjadi fasilitator, mediator dan manajer dari
proses pembelajaran.
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Gimbatissta Vico,
epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970,
Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan
berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari
ciptaan” . Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti mengetahui bagaimana
membuat sesuatu. Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep
yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa
pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak
pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama
gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang
mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses
belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi
gagasan Vico.
Untuk menjawab bagaimana kita dapat memperoleh pengetahuan?
Kaum konstruktivis menyatakan bahwa kita dapat mengetahui sesuatu melalui
indera kita. Dengan berinteraksi terhadap obyek dan lingkungannya melalui
proses melihat, mendengar, menjamah, membau, merasakan dan lain-lainnya orang
dapat mengetahui sesuatu. Misalnya, dengan mengamati pasir, bermain dengan
pasir, seorang anak membentuk pengetahuannya akan pasir. Bagi kaum
konstruktivis, pengetahuan itu bukanlah suatu yang sudah pasti, tetapi
merupakan suatu proses menjadi. Misalnya, pengetahuan kita akan “anjing” mulai
dibentuk sejak kita masih kecil bertemu dengan anjing. Pengetahuan itu makin
lengkap, disaat kita makin banyak berinteraksi dengan anjing yang
bermacam-macam.
Sedangkan menurut von Glaserfeld, tokoh konstruktivisme di
Amerika Serikat, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan
begitu saja dari pikiran seorang guru ke pikiran siswa. Bahkan bila guru
bermaksud untuk memindahkan konsep, ide, dan pengertian kepada siswa,
pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dibentuk oleh siswa sendiri. Tanpa
keaktifan siswa dalam membentuk pengetahuan, pengetahuan tidak akan terjadi
(Bettencourt, 1989).
Jadi manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui
interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka.
Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut
paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari
seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh
tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi merupkan
suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan dalam proses itulah keaktivan
dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan.
Berbicara tentang konstruktivisme juga tidak dapat lepas
dari peran Piaget. J. Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat
konstruktivisme dalam proses belajar. Menurut Wadsworth (1989) dalam Suparno
(2008), teori perkembangan intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya
dalam bidang biologi. Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif.
Seperti setiap organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat
mempertahankan dan memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran
manusia. Berhadapan dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan
yang telah dipunyai seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam
menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat
terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget, pengetahuan
selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental.
Piaget membedakan adanya tiga macam pengetahuan: pengetahuan
fisis, matematis-logis, dan sosial. Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan
sifat-sifat fisis suatu obyek atau kejadian seperti: bentuk, besar, kekasaran,
berat, dan bagaimana benda-benda itu berinteraksi. Pengetahuan fisis ini
didapatkan dari abstraksi langsung suatu obyek. Pengetahuan matematis-logis adalah
pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir tentang pengalaman dengan suatu obyek
atau kejadian tertentu. Pengetahuan ini didapatkan dari abstraksi berdasarkan
koordinasi, relasi ataupun penggunaan obyek. Pengetahuan itu harus dibentuk
dari perbuatan berpikir seseorang terhadap benda itu. Jadi pengetahuannya tidak
didapat langsung dari abstraksi bendanya. Misalnya konsep bilangan. Pengetahuan
sosial adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang
secara bersama menyetujui sesuatu. Pengetahuan ini dibentuk dari interaksi
seseorang dengan orang lain (Piaget, 1971 dalam Suparno, 1997). Pengetahuan ini
muncul dalam kebudayaan tertentu maka dapat berbeda antara kelompok yang satu
dengan yang lain.
Jadi bisa disimpulkan bahwa konstruktivisme adalah salah
satu aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan itu
merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar. Pengetahuan
bukanlah kumpulan fakta-fakta tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang
terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah “sesuatu
yang sudah ada di sana” dan kita tinggal mengambilnya, tetapi merupakan suatu
bentukan terus menerus dari orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan
reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru (Piaget, 1971).
Filsafat konstruktivisme beranggapan
bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan
objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Konstruktivisme bertitik
tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah
mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau
dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan
lingkungannya.
B. Konsep Dasar Aliran Filsafat
Konstruktivisme Tentang Pendidikan
1. Hakikat pendidikan menurut aliran filsafat konstruktivisme
Teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang
mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru,
pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu proses
pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu
mendorong siswa untuk mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan
yang bermakna.
Teori ini mencerminkan siswa memiliki kebebasan berpikir yang
bersifat eklektik, artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apapun asal
tujuan belajar dapat tercapai.
2. Tujuan umum pendidikan menurut aliran filsafat
konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan salah satu
perkembangan model pembelajaran mutakhir yang mengedepankan aktivitas peserta
didik dalam setiap interaksi edukatif untuk dapat melakukan eksplorasi dan
menemukan pengetahuannya sendiri. Aliran konstruktivisme ini, dalam kajian ilmu
pendidikan merupakan aliran yang berkembang dalam psikologi kognitif yang
secara teoritik menekankan peserta didik untuk dapat berperan aktif dalam
menemukan ilmu baru. Kontruktivisme menganggap bahwa semua peserta didik mulai
dari usia kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi memiliki gagasan atau
pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa (gejala) yang terjadi di
lingkungan sekitarnya, meskipun gagasan atau pengetahuan ini sering kali masih
naif, atau juga miskonsepsi. Konstruktivisme senantiasa mempertahankan gagasan
atau pengetahuan naif ini secara kokoh. Gagasan atau pengetahuan tersebut
terkait dengan gagasanatau pengetahuan awal lainnya yang sudah dibangun dalam
wujud schemata (struktur kognitif/ pengetahuan).
Pembelajaran konstruktivisme juga
memungkinkan tersedianya ruang yang lebih baik bagi keterlibatan peserta didik,
memungkinkan peserta didik untuk bereksplorasi: menggali secara lebih dalam
kemampuan, potensi, keindahan dan sikap perilaku yang lebih terbuka.Di antara
ciri yang dapat ditemukan dalam model pembelajaran konstruktivisme ini adalah
peserta didik tidak diindoktrinasi dengan pengetahuan yang disampaikan oleh
guru, melainkan mereka menemukan dan mengeksplorasi pengetahuan tersebut dengan
apa yang telah mereka ketahui dan pelajari sendiri. Menurut paham konstruktivisme,
pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari
suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi
pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan
pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk
menyelesaikan persoalan hidupnya. Tujuan filsafat pendidikan memberikan
inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori
pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan
prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik
pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa
implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna
mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori
pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan
tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat
dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di
lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu
menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni
mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau
miskonsepsi pada diri peserta didik.
3. Hakikat guru menurut aliran filsafat konstruktivisme
Dalam pembelajaran konstruktivis menurut Suparno (1997:16)
menyatakan bahwa peran guru atau pendidik dalam aliran konstruktivisme ini
adalah sebagai fasilitator dan mediator yang tugasnya memotivasi dan membantu
siswa untuk mau belajar sendiri dan merumuskan pengetahuannya. Selain itu guru
juga berkewajiban untuk mengevaluasi gagasan-gagasan siswa itu, sesuaikah
dengan gagasan para ahli atau tidak.
Menurut prinsip konstruktivis, seorang guru punya peran
sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa
berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada siswa yang belajar dan bukan
pada disiplin ataupun guru yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan
fasilitator ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai
berikut:
a.
Menyediakan pengalaman belajar yang
memungkinkan siswa ikut bertanggung jawab dalam membuat design, proses, dan
penelitian. Maka jelas memberi pelajaran atau model ceramah bukanlah tugas
utama seorang guru.
b.
Guru menyediakan atau memberikan
kegiatan-kegiatan yang merangsang keingin-tahuan siswa, membantu mereka untuk
mengekspresikan gagasan mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya (Watt &
Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang berpikir siswa secara produktif
dan mendukung pengalaman belajar siswa.
c.
Memonitor, mengevaluasi dan
menunjukkan apakah pemikiran siswa itu jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan
apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang
berkaitan. Guru membantu dalam mengevaluasi hipotesa dan kesimpulan siswa.
Disini guru perlu mengerti mereka sudah pada taraf mana?
Guru perlu belajar mengerti cara berpikir siswa, sehingga dapat membantu memodifikasikannya. Baik dilihat bagaimana jalan berpikir mereka itu terhadap persoalan yang ada. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu. Ini cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak jalan untuk keadaan tertentu (Von Glasersfeld, 1989).
Guru perlu belajar mengerti cara berpikir siswa, sehingga dapat membantu memodifikasikannya. Baik dilihat bagaimana jalan berpikir mereka itu terhadap persoalan yang ada. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu. Ini cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak jalan untuk keadaan tertentu (Von Glasersfeld, 1989).
d.
Dalam sistem konstruktivis guru
dituntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru perlu mempunyai
pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan dari bahan yang mau diajarkan.
Pengetahuan yang luas dan mendalam akan memungkinkan seorang guru menerima
pandangan dan gagasan siswa yang berbeda dan juga memungkinkan untuk
menunjukkan apakah gagasan siswa itu jalan atau tidak. Penguasaan bahan
memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai
kepada suatu pemecahan persoalan, dan tidak terpaku kepada satu model.
Tanggung jawab seorang guru adalah menyediakan dan
memberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk belajar secara aktif dimana peran
siswa bisa menciptakan, membangun, mendiskusikan/ membandingkan, bekerjasama,
dan melakukan eksplorasi eksperimentasi (Setyosari, Herianto, Effendi,
Sukadi,1996). Untuk mencapai hal tersebut maka siswa harus didorong dan distimulasi
untuk belajar bagi dirinya sendiri. Dengan demikian tugasnya guru adalah
disamping sebagai pemberi informasi, ia juga bertindak sebagai pemberi
kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi serta menjamin bahwa
siswa menerima tanggung jawab bagi belajarnya sendiri melalui pengembangan rasa
dan antusias.
Kecenderungan pola pengajaran yang dilakukan tidak lagi
berorientasi pada bagaimana siswa belajar dan berfikir tetapi lebih cenderung
bagaimana guru mengajar di depan kelas. Guru perlu menawarkan berbagai aktvitas
belajar di dalam kelas selama proses belajar berlangsung. Tugas guru hanyalah
mengamati atau mengobservasi, menilai, dan menunjukkan hal-hal yang perlu
dilakukan siswa.
4. Hakikat murid menurut aliran filsafat konstruktivisme
Berbeda dengan behaviorisme, konstruktivisme memfokuskan
pada proses-proses pembelajaran bukannya pada perilaku belajar. Sejak
pertengahan tahun 1980-an, para peneliti telah berusaha untuk mengidentifikasi
bagaimana siswa mengkonstruksi atau membentuk pemahaman mereka terhadap bahan
yang mereka pelajari.
Para siswa menciptakan atau membentuk pengetahuan mereka
sendiri melalui tingkatan atau interaksi dengan dunia. Pendekatan konstruktivis
sosial juga memepertimbangkan konteks sosial yang didalamnya pembelajaran
muncul dan menekankan pentingnya interaksi sosial dan negosiasi dalam
pembelajaran. Berkenaan dengan praktik kelas, pendekatan konstruktivis
mendukung kurikulum dan pengajaran student center bukannya teacher center.
Siswa adalah kunci pembelajaran.
Siswa tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong yang
siap diisi. Dengan sikap pasrah siswa disiapkan untuk dijejali informasi oleh
gurunya. Atau siswa dikondisikan sedemikian rupa untuk menerima pengatahuan
dari gurunya. Siswa kini diposisikan sebagai mitra belajar guru. Guru bukan
satu-satunya pusat informasi dan yang paling tahu. Guru hanya salah satu sumber
belajar atau sumber informasi. Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman
sebaya.ratorium, televisi,
koran dan internet.
Siswa diberikan kebebasan untuk mencari arti sendiri
dari apa yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan
ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka dan
siswa bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Mereka membawa pengertian yang
lama dalam situasi belajar yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran
atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkannya dengan
apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman yang
baru.
Model belajar konstruktivis sangat memperhatikan
jaringan ide-ide yang ada dalam struktur kognitif siswa. Pengetahuan bukanlah
gambaran dari suatu realita. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu
konstruksi kognitif melalui kegiatan mental seseorang. Transformasi pengetahuan
dalam konstruktivisme adalah pergeseran siswa sebagai penerima pasif informasi
menjadi pengkonstruksi aktif dalam proses pembelajaran. Siswa dipandang sebagai
subyek yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dalam hal tahap-tahap pembelajaran,
pendekatan konstruktivisme lebih menekankan pada pembelajaran top-down
processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk
dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan atau menemukan
keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan (Slavin.1997). Misalnya, ketika
siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk
membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian
bagaimana menulis titik dan komanya.
5. Hakikat pembelajaran menurut aliran filsafat konstruktivisme
Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif
pelajar mengkonstruksikan arti sebuah teks, dialog, pengalaman fisis, dan
lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan
pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai
seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain
bercirikan sebagai berikut:
a.
Belajar berarti membentuk makna.
Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan
alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
b.
Konstruksi arti adalah proses yang
terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru,
diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
c.
Belajar bukanlah kegiatan
mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat
pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan
perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang menuntut
penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d.
Proses belajar yang sebenarnya
terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran
lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang
baik untuk memacu belajar.
e.
Hasil belajar dipengaruhi oleh
pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.
f.
Hasil belajar seseorang tergantung
pada apa yang telah diketahui pelajar konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang
mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno 2001:61).
Sehingga bisa dikatakan bahwa belajar adalah lebih merupakan
suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada suatu proses untuk mengumpulkan
sesuatu. Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu
perkembangan pemikiran yang berkembang dengan membuat kerangka pengertian yang
baru. Siswa harus punya pengalaman dengan membuat hipotese, predikti, mengetes
hipotesa, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban,
menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan
pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi
yang baru.
Setiap siswa mempunyai cara untuk mengerti sendiri.
Maka penting bahwa setiap siswa mengerti kekhasan, keunggulan dan kelemahannya
dalam mengerti sesuatu. Mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi
mereka sendiri. Setiap siswa mempunyai cara yang cocok untuk mengkonstruksikan
pengetahuannya yang kadang sangat berbeda dengan teman-teman yang lain. Dalam
kerangka ini, sangat penting bahwa siswa dimungkinkan untuk mencoba
bermacam-macam cara belajar yang cocok dan juga penting bagi guru menciptakan
bermacam-macam situasi dan metode yang membantu siswa. Satu model belajar dan
mengajar tidak akan membantu banyak siswa.
Siswa sudah membawa konsep yang bermacam-macam dalam ruang
pelajaran sebelum pelajaran formal dimulai. Inilah pengetahuan dasar mereka
untuk dapat mengembangkan pengetahuan yang baru. Juga mereka membawa perbedaan
tingkat intelektual, personal, sosial, emotional, kultural masuk ruang
pelajaran. Ini semua mempengaruhi pemahaman mereka. Latar belakang dan
pengertian awal yang dibawa siswa tersebut sangat penting dimengerti oleh guru
agar dapat membantu memajukan dan memperkembangkannya sesuai dengan pengetahuan
yang lebih ilmiah.
C. Aliran Filsafat Konstruktivisme
Dalam Praksis Pendidikan
1. Implikasi konstruktivisme terhadap
proses pembelajaran
Ada sejumlah implikasi yang relevan
terhadap proses pembelajaran berdasarkan pemikiran konstruktivisme personal dan
sosial. Implikasi itu antara lain sebagai berikut:
a.
Kaum
konstruktivis personal berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui
konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan terhadap realitas yang
dihadapi dan bukan lewat akumulasi informasi. Implikasinya dalam proses
pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara langsung memberikan
informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik
berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan diperoleh
oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut.
Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah menyediakan objek
pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan
pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman hidup konkret
(nilai-nilai, tingkah laku, sikap) untuk dijadikan objek pemaknaan.
b. Kaum
konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas
dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada
proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses
belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara
cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya
pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif
anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman
yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi
juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin
berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan
yang belum diketahui sebagai zone of proximal development of knowledge.
Terkait dengan kedua hal di atas, maka dalam proses
pembelajaran seorang pendidik harus menciptakan pengalaman yang autentik dan
alami secara sosial kultural untuk para peserta didiknya. Materi pembelajaran
sungguh harus kontekstual, relevan dan diambil dari pengalaman sosio budaya
setempat. Pendidik tidak dapat memaksakan suatu materi yang tidak terkait
dengan kehidupan nyata peserta didik. Pemaksaan hanya akan menimbulkan
penolakan atau menimbulkan kebosanan atau akan menghambat proses perkembangan
pengetahuan peserta didik.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah proses
mengkonstruksi pengetahuan. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan
sosial. Proses ini adalah proses aktif, sedangkan mengajar bukanlah memindahkan
pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan
siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan
siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan bersikap
kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Penggunaan
pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran akan membawa implikasi sebagi
berikut:
a.
Isi Pembelajaran
Dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme, guru tidak dapat menentukan secara spesifik isi atau bahan
yang harus dipelajari oleh siswa, tetapi hanya sebatas memberikan rambu-rambu
bahan pembelajaran yang sifatnya umum. Proses penyajian dimulai dari
keseluruhan ke bagian-bagian, bukan sebaliknya. Mengingat aliran
konstruktivisme lebih mengutamakan pemahaman terhadap konsep-konsep besar, maka
konsep tersebut disajikan dalam konteksnya yang actual yang kadang-kadang
kompleks. Siswa perlu didorong agar ia tidak takut pada hal-hal yang komplek.
Siswa perlu memahami bahwa hal-hal yang kompleks akan memberikan tantangan
untuk diketahui dan dipahami.
Dalam belajar secara konstruktivis, siswa harus
membentuk pengertian dari berbagai sudut pandang, maka dalam proses belajarnya
tidak bisa dipisahkan dengan dunia riil dan informasi dari berbagai sumber. Di
kelas siswa harus dimotivasi untuk mencari sudut pandang baru dan
mempertimbangkan sumber data alternatif.
b. Tujuan Pembelajaran
Tugas guru dalam pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivisme adalah membantu siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri
melalui proses internalisasi, pembentukan kembali, dan transformasi informasi
yang telah diperolehnya menjadi pengetahuan baru. Transformasi terjadi kalau
ada pemahaman (understanding), sedangkan pemahaman terjadi sebagai
akibat terbentuknya struktur kognitif baru dalam pikiran siswa. Pemahaman
terjadi kalau terjadi proses akomodasi atau perubahan paradigma dalam pikiran
siswa. Berlandaskan teoritik, tujuan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme adalah membangun pemahaman. Pemahaman dinilai penting, karena
pemahaman akan memberikan makna kepada apa yang dipelajari. Karena itu tekanan
belajar bukanlah untuk memperoleh atau menemukan lebih banyak, akan tetapi yang
lebih penting adalah memberikan interpretasi melalui skema atau struktur
kognitif yang berbeda.
c.
Strategi Pembelajaran
Tugas guru adalah membantu agar siswa mampu
mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasi konkrit, maka strategi
pembelajaran yang digunakan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi
siswa. Guru tidak dapat memastikan strategi yang digunakan, yang dapat hanya
sebatas tawaran dan saran. Dalam hal ini teknik dan seni yang dimiliki guru
ditantang untuk mengoptimalkan pembelajaran.
Pendekatan konstruktivisme mementingkan pengembangan
lingkungan belajar yang meningkatkan pembentukan pengertian dari perspektif
ganda, dan informasi yang efektif atau kontrol eksternal yang teliti dari
peristiwa-peristiwa siswa yang ketat, dihindari sama sekali. Untuk maksud tersebut,
guru perlu melakukan hal-hal berikut: (1) menyajikan masalah-masalah aktual
kepada siswa dalam konteks yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, (2)
pembelajaran distrukturkan di sekitar konsep-konsep primer, (3) memberi
dorongan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan sendiri, (4) memberikan siswa
untuk menemukan jawaban dari pertanyaan sendiri, (5) memberanikan siswa
mengemukakan pendapat dan menghargai sudut pandangnya, (6) menantang siswa
untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, bukan sekedar menyelesaikan tugas,
(7) menganjurkan siswa bekerja dalam kelompok, (8) mendorong siswa untuk berani
menerima tanggung jawab, dan (9) menilai proses dan hasil belajar siswa dalam
konteks pembelajaran.
d. Penataan Lingkungan Belajar
Penataan lingkungan belajar berdasar pendekatan
konstruktivistik diidentifikasikan dengan alternatif sebagai berikut; (1)
menyediakan pengalaman belajar melalui proses pembentukan pengetahuan dimana
siswa ikut menentukan topik/sub topik yang mereka sikapi, metode pembelajaran
beriku tstrategi pembelajaran yang dipergunakan, (2) menyediakan pengalaman
belajar yang kaya akan alternatif seperti peninjauan masalah dari
berbagai segi, (3) mengintegrasikan proses belajar dengan konteks yang nyata
dan relevan dengan harapan siswa dapat menerapkan pengetahuan yang didapat
dalam hidup sehari-hari, (4) memberikan kesempatan pada siswa untuk menentukan
isi dan arah belajar mereka dengan menempatkan guru sebagai konsultan, (5)
peningkatan interaksi antara guru dengan siswa dan antar siswa sendiri, (6)
meningkatkan penggunaan berbagai sumber belajar disamping komunikasi tertulis
dan lisan, (7) meningkatkan kesadaran siswa dalam proses pembentukan
pengetahuan mereka agar siswa mampu menjelaskan mengapa/bagaimana mereka
memecahkan masalah dengan cara tertentu.
e.
Hubungan Guru-Siswa
Dalam aliran kostruktivisme, guru bukanlah seseorang
yang mahatahu dan siswa bukanlah yang belum tahu, karena itu harus diberi tahu.
Dalam proses belajar, siswa aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya,
sedangkan guru membantu agar pencarian itu berjalan baik. Dalam banyak hal guru
dan siswa bersama-sama membangun pengetahuan. Dalam hal ini hubungan guru dan
siswa lebih sebagai mitra yang bersamasama membangun pengetahuan.
Untuk mengidentifikasi
sejumlah karakteristik hubungan guru-siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivistik berikut ini: (1) hubungan antara guru dengan siswa diupayakan
terjadi secara optimal, (2) pembelajaran perlu difokuskan pada kemampuan siswa
untuk menguasai konsep dan mengutarakan pandangannya, (3) evaluasi siswa
terintegrasi dalam proses belajar mengajar melalui observasi terhadap siswa
yang umumnya bekerja dalam kelompok, (4) aktivitas siswa lebih ditekankan pada
pengembangan generalisasi dan demonstrasi, (5) aktivitas pembelajaran relatif
tergantung pada isi yang menyebabkan siswa berpikir.
2.
Implikasi
konstruktivisme terhadap pendidik dan peserta didik
a.
Pendidik
dalam proses pembelajaran harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif tingkat
tinggi seperti mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan, memprediksi
dan menyimpulkan, dll.
b. Pendidik
merancang tugas yang mendorong peserta didik untuk mencari pemecahan masalah
secara individual dan kolektif sehingga meningkatkan kepercayaan diri yang
tinggi dalam mengembangkan pengetahuan dan rasa tanggungjaawab pribadi.
c.
Dalam proses
pembelajaran, pendidik harus memberi peluang seluas-luasnya agar terjadi proses
dialogis antara sesama peserta didik, dan antara peserta didik dengan pendidik,
sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab bahwa pembentukan pengetahuan
adalah tanggungjawab bersama. Caranya dengan memberi pertanyaan-pertanyaan,
tugas-tugas yang terkait dengan topik tertentu, yang harus dipecahkan, didalami
secara individual ataupun kolektif, kemudian diskusi kelompok, menulis , dialog
dan presentasi di depan teman yang lain.
Dapat kita jelaskan peranan antara pendidik dan
peserta didik menurut aliran konstruktivisme adalah sebagai berikut:
No.
|
Peranan Peserta Didik
|
Peranan Pendidik
|
1.
|
Berinisiatif mengemukakan masalah dan pokok pikiran,
kemudian menganalisis dan menjawabannya sendiri.
|
Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri
dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.
|
2.
|
Bertanggung jawab sendiri terhadap kegiatan
belajarnya atau penyelesaian suatu masalah.
|
Memusatkan perhatian kepada proses berpikir atau
proses mental siswa, bukan kepada kebenaran jawaban siswa saja.
|
3.
|
Secara aktif bersama dengan teman sekelasnya mendiskusikan
penyelesaian masalah atau pokok pikiran yang mereka munculkan, dan apabila
dirasa perlu dapat menanyakannya kepada guru.
|
Guru perlu fleksibel dalam merespons jawaban atau
pemikiran siswa. Menghargai pemikiran siswa dan meghindari perkataan “Ini
satu-satunya jawaban benar”
|
4.
|
Atas inisiatif sendiri dan mandiri berupaya
memperoleh pemahaman yang mendalam (deep understanding) terhadap suatu topik
masalah belajar.
|
Guru perlu menyediakan pengalaman belajar dengan
mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga belajar sebagai
proses konstruksi pengetahuan dapat terwujud.
|
5.
|
Secara aktif mengajukan dan menggunakan berbagai
hipotesis (kemungkinan jawaban) dalam memecahkan suatu masalah.
|
Memaklumi akan adanya perbedaan individual, termasuk
dalam hal perkembangan kognitif siswa.
|
6.
|
Secara aktif mengajukan berbagai data atau informasi
pendukung dalam penyelesaian suatu masalah atau pokok pikiran yang
dimunculkan sendiri atau yang telah dimunculkan oleh teman sekelas.
|
Guru perlu menyampaikan tujuan pembelajaran dan apa
yang akan dipelajari di awal kegiatan belajar. Hal ini akan mempengaruhi
keaktifan siswa, karena ia tahu apa yang akan di pelajari dan untuk apa ia
terlibat dalam pembelajaran.
|
7.
|
Secara kreatif dan imajinatif mengaitkan antara
gagasan yang telah dimiliki dengan informasi baru yang diterima.
|
Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk
dapat mengetahui apa yang telah mereka ketahui dan apa yang mereka pikirkan.
|
D. Analisis Kritis
1. Kelebihan dan kekekurangan konstruktivisme dalam
pembelajaran
Berdasarkan pendekatan konstruktivisme di atas, memiliki
kelebihan atau keunggulan dibaindingkan dengan pendekatan yang lain yaitu,
a.
Guru bukan satu-satunya sumber belajar. Peserta didik menurut konstruktivisme adalah peseta didik yang aktif
mengkonstruksi pengetahuan yang dia dapat. Mereka membandingkan pengalaman
kognetif mereka dengan persepsi kognetif mereka tentang sesuatu. Jadi guru
dalam pembelajaran konstruktivisme hanya fasilitator, bukan model atau sumber
utama yang bertugas untuk mentransfer ilmu pada siswa.
b.
Pembelajar lebih aktif dan kreatif. Sebagai akibat konstruksi mandiri pembelajar terhadap sesuatu,
pembelajar dituntut aktif dan kreatif untuk mengaitkan ilmu baru yang mereka
dapat dengan pengalaman mereka sebelumnya sehingga tercipta konsep yang sesuai
dengan yang diharapkan.
c.
Pembelajaran menjadi lebih bermakna. Belajar
bermakna berarti mengkonstruksi informasi dalam struktur pengertian lamanya.
Jadi dapat dijabarkan bahwa dalam konstruktivisme, pembelajar mendapatkan
ilmunya tidak hanya dengan mendengarkan penjelasan gurunya, tetapi juga dengan
mengaitkan pengalaman pribadi mereka dengan informasi baru yang mereka dapat.
Sesuatu yang didapat dengan proses pencarian secara mandiri akan menimbulkan
makna yang mendalam terhadap ilmu baru itu.
d.
Pembelajar memiliki kebebasan belajar. Kebebasan disini berarti bahwa pembelajar dapat dengan bebas
mengkonstruksi ilmu baru itu sesuai pengalamannya sebelumnya, sehingga tercipta
konsep yang diinginkan.
e.
Perbedaan individual terukur dan dihargai. Karena proses belajar sesuai konstruktivisme adalah proses belajar
mandiri, maka potensi individu akan terukur dengan sangat jelas.
f.
Membina sikap produktif dan percaya diri. Pembelajar diharapkan selalu mengkonstruksi ilmu barunya, sehingga
mereka akan produktif menciptakan konsep baru tentang sesuatu untuk diri mereka
sendiri. Rasa percaya diri juga dipupuk dalam filsafat ini dengan memberikan
kesempatan bagi pembelajar untuk menggunakan pengalaman mereka sendiri untuk
melahirkan konsep baru yang nantinya akan mereka aplikasikan untuk mengatasi
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
g.
Proses evaluasi difokuskan pada penilaian
proses. Filsafat konstruktivisme menuntun pembelajar untuk mengkonstruksi ilmu
barunya dengan merefleksi pada pengalaman sebelumnya untuk membuat konsep baru.
Dalam
praktek pengajaran, penyelesaian materi dan hasil bukanlah merupakan hal
terpenting. Yang lebih penting adalah proses pembelajaran yang lebih menekankan
partisipasi murid. Belajar adalah kegiatan murid untuk membentuk pengetahuan.
h.
Berfikir proses
membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, dan
membuat keputusan.
i.
Faham,
karena murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka
akan lebih faham dan boleh mengaplikasikannya dalam semua situasi.
j.
Ingat
:karena murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih
lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman
mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam
situasi baru.
k.
Kemahiran
sosial :Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan teman dan guru
dalam membina pengetahuan baru.
Disisi lain pendekatan konstruktivisme juga memiliki
kelemahan diantaranya adalah:
a.
Kemauan dan
kemampuan belajar yang lemah dari pembelajar akan mengakibatkan proses
konstruksi menjadi terhambat, karena dalam filsafat konstruktifisme yang
berperan aktif dalam pembelajaran adalah pembelajar.
b.
Terkadang
pembelajar tidak memiliki ketekunan dan keuletan dalam mengkonstruksi
pemahamannya terhadap sesuatu, itu bisa saja menjadi kendala dalam prosesnya
mengerti sesuatu.
c. Pembelajaran kelas dapat lama, bila ada beberapa siswa yang
kurang cepat berpikir.
d. Gerak kelas dapat sangat berlainan bila siswanya beraneka
inteligensi.
e. Pengaturan kelas kadang lebih sulit.
f.
Pendekatan konstruktivisme
memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan pendekatan
pembelajaran yang lain, membutuhkan kelengkapan sarana/prasarana dan media
penunjang pembelajaran serta menuntut adanya ketrampilan dan kecakapan lebih
dari guru dalam mengelola kelas yang dikembangkan dengan pendekatan model
pembelajaran konstruktivisme.
2.
Kendala
dalam penerapan pembelajaran menurut konstruktivisme
Konstruktivisme memberikan angin
segar bagi perbaikan proses dan hasil belajar. Walaupun demikian, terdapat pula
kendala yang muncul dalam penerapan pembelajaran menurut konstruktivisme di
kelas. Kendala-kendala yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.
Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru. Guru selama ini telah
terbiasa mengajar dengan menggunakan pendekatan tradisional, mengubah kebiasaan
ini merupakan suatu hal yang tidak mudah.
b.
Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan
pembelajaran berbasis konstruktivisme. Guru konstruktivis dituntut untuk lebih
kreatif dalam merencanakan kegiatan pembelajaran dan dalam memilih menggunakan
media yang sesuai.
c.
Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam
pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup besar. Guru khawatir target
pencapaian kurikulum (TPK) tidak tercapai.
d.
Sistem evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir. Padahal yang
terpenting dari suatu pembelajaran adalah proses belajarnya bukan hasil
akhirnya.
e.
Besarnya beban mengajar guru, latar pendidikan guru tidak sesuai dengan
mata pelajaran yang diasuh, dan banyaknya pelajaran yang harus dipelajari siswa
merupakan yang cukup serius.
f.
Siswa terbiasa menunggu informasi dari guru. Siswa akan belajar jika
ada transfer pengetahuan dan tugas-tugas dari gurunya. Mengubah sikap “menunggu
informasi” menjadi “pencari dan pengkonstruksi informasi” merupakan kendala itu
sendiri.
g.
Adanya budaya negatif di lingkungan siswa. Salah satu contohnya di
lingkungan rumah. Pendapat orang tua selalu dianggap paling benar, ank dilarang
membantah pendapat orang tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke sekolah. Siswa
terkondisi untuk “mengiakan” pendapat atau penjelasan guru. Siswa tidak berani
mengemukakan pendapatnya yang mungkin berbeda dengan gurunya.
3.
Solusi
mengatasi masalah yang timbul dalam pendidikan
a.
Guru, sebagai subjek sentral dalam
pendidikan harus memiliki wawasan baru dan luas dalam model-model pembelajaran.
b.
Sekolah dan penyelenggaranya harus
memiliki visi dan misi yang jelas yang menjangkau masa depan, dan melengkapi
dengan sarana prasarana yang memadai.
c.
Dibutuhkan keberanian dari
pelaku-pelaku pendidikan untuk secara kritis menyikapi berbagai perubahan dan
membuat terobosan.
d.
Peserta didik tidka lagi dijadikan
asset yang mampu menjual nama baik lembaga, tetapi harus diberi kesempatan
berkembang secara optimal dan alamiah.
e.
Sebaiknya
system UAN dikaji kembali, untuk melihat efektivitasnya untuk kelangsungan
generasi muda berikutnya. Jangan sampai system UAN menjerumuskan siswa yang
mungkin tdk berbakat pada materi yang diujikan tp berbakat pada keterampilan
lain. Itu akan membatasi kreativitas siswa.
f.
Bagi
guru yang akan mempersiapkan UAN untuk siswanya, sebaiknya mempersiapkannya
dari jauh-hari,agar tidak terkesan mengejar waktu, hingga akhirnya mengorbankan
kesempatan siswa untuk berpartisipasi aktif dalam kelas.
g.
Jika UAN ingin dilanjutkan
pelaksanaannya, sebaiknya lebih memperhatikan penilaian proses, tidak hanya
penilaian produk akhir. Mungkin ini bisa dilakukan dengan mengganti jenis soal,
sehingga dapat mengukur kasitas siswa secara murni.
4.
Konstruktivisme dapat meningkatkan
mutu pendidikan, namun pelaksanaannya tidak mutlak dapat diterapkan pada semua
kondisi pendidikan di Indonesia, perlu penyesuaian dengan kondisi lapangan yang
ada.
proses belajar mengajar.
Kemudian dari segi posisi dia
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat konstruktivisme beranggapan
bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan
objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Konstruktivisme bertitik
tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah
mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau
dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan
lingkungannya.
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan
dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya,
hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan aktivitas personal
peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut
untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas
dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang
struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang
baru. Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan
peserta didik tetapi juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya.
Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah
diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui sebagai zone of proximal
development of knowledge.
Bagi aliran konstruktivisme, guru
tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai
satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasiltator
yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri (Hudojo, 1998:5-6). Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar
bukan bagaimana guru mengajar.
B.
Saran
Filsafat konstruktivisme harus dipahami sebagai roh yang
menggerakkan subyek-subyek pendidikan sehingga akan lahirlah inovasi-inovasi
baru dalam pendidikan dan pengajaran. Saran yang dapat penulis berikan
pada penulisan makalah ini adalah sebaiknya sistem pembelajaran yang diterapkan
mengacu pada pendekatan konstruktivisme karena dari karakteristik
pembelajarannya yang dapat memberikan sumbangan besar dalam membentuk manusia yang
kreatif, produktif, dan mandiri.
Guru, sebagai subjek sentral dalam pendidikan harus memiliki
wawasan baru dan luas dalam model-model pembelajaran. Sekolah dan
penyelenggaranya harus memiliki visi dan misi yang jelas yang menjangkau masa
depan, dan melengkapi dengan sarana prasarana yang memadai sehingga peserta
didik bisa berkembang secara optimal dan alamiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar